Iman, kesederhanaan, dan qanaah
Ketika Nabi Muhammad menikahkan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, beliau mengundang Abu Bakar, Umar, dan Usamah untuk membawakan “persiapan” Fatimah. Mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang dipersiapkan Rasulullah untuk putri kinasih dan keponakan tersayangnya itu? Ternyata bekalnya cuma penggilingan gandum, kulit binatang yang disamak,kendi, dan sebuah piring.

Fatimah, sang pengantin itu,
kemudian keluar rumah dengan memakai pakaian yang cukup bagus, tapi ada 12
tambalannya. Tak ada perhiasan, apalagi pernik-pernik mahal.
Setelah menikah, Fatimah
senantiasa menggiling gandum dengan tangannya, membaca Alquran dengan lidahnya,
menafsirkan kitab suci dengan hatinya, dan menangis dengan matanya.
Itulah sebagian kemuliaaan dari
Fatimah. Ada
ribuan atau jutaan Fatimah yang telah menunjukkan kemuliaan akhlaknya. Dari
mereka kelak lahir ulama-ulama ulung yang menjadi guru dan rujukan seluruh
imam, termasuk Imam Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali.
Bagaimana gadis sekarang? Mereka,
memang tak lagi menggiling gandum, tapi menekan tuts-tuts komputer. Tapi
bagaimana lidah, hati, dan matanya? Bulan lalu, ada seorang gadis di Bekasi,
yang nyaris mati karena bunuh diri. Rupanya ia minta dinikahkan dengan pujaan
hatinya dengan pesta meriah. Karena ayahnya tak mau, dia pun nekat bunuh diri
dengan minum Baygon. Untung jiwanya terselamatkan. Seandainya saja tak
terselamatkan, naudzubillah min dzalik! Allah mengharamkan surga untuk orang
yang mati bunuh diri.
Si gadis tadi rupanya menjadikan
kemewahan pernikahannya sebagai sebuah prinsip hidup yang tak bisa dilanggar.
Sayang, gadis malang
itu mungkin belum menghayati cara Rasulullah menikahkan putrinya. Pesta
pernikahan putri Rasulullah itu menggambarkan kepada kita, betapa kesederhanaan
telah menjadi "darah daging" kehidupan Nabi yang mulia. Bahkan ketika
"pesta pernikahan" putrinya, yang selayaknya diadakan dengan meriah,
Muhammad tetap menunjukkan kesederhanaan.
Bagi Rasulullah, membuat pesta
besar untuk pernikahan putrinya bukanlah hal sulit. Tapi, sebagai manusia agung
yang suci, "kemegahan" pesta pernikahan putrinya, bukan ditunjukkan
oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Rasul justru menunjukkan
"kemegahan" kesederhanaan dan "kemegahan" sifat qanaah,
yang merupakan kekayaan hakiki. Rasululllah bersabda, "Kekayaan yang
sejati adalah kekayaan iman, yang tercermin dalam sifat qanaah".
Iman, kesederhanaan, dan qanaah
adalah suatu yang tak bisa dipisahkan. Seorang beriman, tecermin dari
kesederhanaan hidupnya dan kesederhanaan itu tecermin dari sifatnya yang
qanaah. Qanaah adalah sebuah sikap yang menerima ketentuan Allah dengan sabar dan menarik diri dari kecintaan pada dunia. Rasulullah bersabda, "Qanaah
adalah harta yang tak akan hilang dan tabungan yang tak akan lenyap."